PALANGKA RAYA, iNews.id - Tingginya intensitas curah hujan dalam beberapa bulan terakhir, mengakibatkan Kalimantan Tengah (Kalteng) kembali dikepung banjir. Delapan kabupaten dan satu kota dari 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah terdampak banjir.
Kabupaten dan kota terdampak tersebut adalah Kabupaten Katingan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Lamandau, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kota Palangka Raya, dan Kabupaten Barito Utara.
Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran Provinsi Kalimantan Tengah per 17 Oktober 2022, delapan kabupaten dan satu kota yang terdampak banjir, terdiri dari 35 kecamatan, 184 desa/kelurahan, 16.424 KK, dan 47.136 jiwa, dengan 61 KK atau sebanyak 235 jiwa mengungsi.
Angka ini akan terus bertambah bila melihat perkembangan sepekan terakhir. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir sejak 17 Oktober 2022 hingga 21 hari kedepan.
Sementara itu, sebanyak enam kabupaten juga telah menetapkan status tanggap darurat bencana banjir, yaitu Kabupaten Lamandau, Kabupaten Sukamara, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, dam Katingan. Sedangkan, Kabupaten Seruyan dalam proses penetapan perpanjangan status tanggap darurat.
Kondisi demikian tentu sangat memprihatinkan, banjir di Kalimantan Tengah seakan menjadi kalender tetap setiap tahun, bahkan bisa terjadi dua sampai tiga kali dalam setahun bila melihat periodik dari 2020 sampai dengan 2022.
Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran menuturkan keprihatinannya atas kondisi tersebut, mengingat banjir yang mengepung Kalimantan Tengah, terjadi saat permasalahan lain belum usai.
"Banjir melanda di saat pandemi Covid-19 belum berakhir, inflasi menghantam sendi kehidupan dibarengi kenaikan harga BBM, semuanya harus kita hadapi dan ditangani simultan secara bersamaan,” ucap Sugianto Sabran di Palangka Raya, Senin (17/10/2022).
Lebih lanjut, Gubernur Kalteng dua periode itu mengatakan, bahwa akibat banjir masyarakat petani tidak bisa bercocok tanam dan gagal panen karena lahannya terendam air, sehingga hal tersebut melahirkan permasalahan sosial dan ekonomi, masyarakat kehilangan mata pencahariannya.
“Umumnya masyarakat yang ada di pedesaan dan masyarakat sekitar hutan adalah bertani, tapi dengan adanya banjir yang bisa terjadi hingga tiga kali dalam setahun, apa yang mereka harapkan dari sektor pertanian, hal ini akan menciptakan tren kemiskinan di tingkat pedesaan,” tuturnya.
Editor : Anindita Trinoviana
Artikel Terkait